Kondisi lingkungan saat ini bisa dikatakan mengalami penurunan. Hal ini ditandai dengan makin banyaknya jumlah lahan kritis, bencana banjir dan kekeringan dapat dikatakan sebagai penyebab kerusakan daerah aliran sungai. Banyaknya jumlah DAS prioritas yang harus ditangani menunjukkan sistem pengelolaan DAS yang diterapkan sampai dengan saat sekarang masih belum efektif. Padahal banyak cara contoh-contoh kegiatan rehabilitasi DAS.
Perkembangan politik, sosial, ekonomi, kelembagaan, maupun teknologi yang dinamis belum mampu diimbangi dengan sistem pengelolaan DAS yang ada. Dinamika politik yang utama berpengaruh terhadap sistem pengelolaan DAS adanya kewenangan otonomi pemerintahan daerah (peraturan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah; PP Nomor 19 tahun 2010 tentang kedudukan dan Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah Pusat di wilayah Provinsi; serta Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.1/Menhut-II/2014 Tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintahan (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan Tahun 2014 Kepada 33 Gubernur Pemerintah Provinsi Selaku Wakil Pemerintah).
Hal ini mempengaruhi sistem kelembagaan yang harus dibangun, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pada setiap wilayah pemerintahan daerah. Sementara itu, wilayah DAS tidak selalu bisa berhimpitan dengan wilayah administrasi pemerintahan karena DAS merupakan batas alam punggung bukit. Tetapi oleh Dixon dan Easter (1986) disebutkan bahwa DAS merupakan penyatu ekosistem alami antara wilayah hulu (dari puncak gunung/bukit) dengan wilayah hilir (sampai dengan muara sungai dan wilayah pantai yang masih terpengaruh daratan) melalui siklus/daur hidrologi/air.
Sebagai suatu ekosistem, DAS dapat merupakan suatu unit pengelolaan karena setiap ada masukan (input) ke dalam ekosistem tersebut dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang berlangsung dengan melihat keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Satuan wilayah DAS yang terdiri dari komponen tanah, vegetasi, dan air/sungai dengan intervensi manusia berperan sebagai prosesor terhadap setiap masukan. Sebagai prosesor, DAS memiliki karakteristik khas yang dihasilkan dari interaksi karakter alami dengan pengelolaan yang diterapkan.
Pengertian pengelolaan atau manajemen itu sendiri adalah sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan, dan pengawasan (monitoring dan evaluasi) yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya seperti bahan-bahan, mesin, metode, uang, dan pasar (Terry, 1986). Adanya dinamika tersebut perlu adaptasi pengelolaan yang aplikatif dan adoptif. Dalam pengembangan sistem pengelolaan (perencanaan, kelembagaan, implementasi, dan monitoring evaluasi (monev) yang selaras dengan dinamika perkembangan tersebut perlu dukungan dasar pemikiran obyektif rasional yang didukung data dan informasi terkini yang diperoleh melalui serangkaian penelitian yang bersifat integratif.
Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan kritis dan erosi pada kawasan lindung di lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti permukiman & pertambangan. Sebenarnya telah menjadi perhatian serius Pemerintah, namun proses degradasi tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan DAS. Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait.
Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan pemungutan manfaat. Awalnya perencanaan pengelolaan DAS lebih banyak dengan pendekatan pada faktor fisik dan bersifat sektoral. Sejak tahun 2000-an telah dimulai pengelolaan DAS dengan pendekatan holistik, yaitu dengan perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, pada DAS yang masuk kategori DAS prioritas.
Penentuan urutan prioritas DAS didasarkan pada kriteria dan pertimbangan seperti : (1) urutan DAS prioritas perlu disesuaikan dengan pertimbangan teknik yang lebih maju dan pertimbangan kebijakan yang berkembang pada saat ini; (2) pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi instansi terkait dalam berkoordinasi dan merencanakan kebijakan pengelolaan DAS; dan (3) perubahan arah pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi.
Pentingnya posisi DAS sebagai unit pengelolaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya informasi terkait kondisi fisik dan sosial pada DAS akan mempengaruhi kualitas perencanaan dan pada akhirnya dapat menimbulkan degradasi sumber daya alam dan kemampuan DAS dalam mendukung keseimbangan lingkungan.
Sejalan dengan implementasi kebijakan otonomi, dimana pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam mengatur rumah tangga kepemerintahannya sendiri, maka pemanfaatan sumber daya alam dan lahan menjadi faktor penting untuk menggerakkan aktifitas perekonomian masyarakat. Dalam rangka upaya mewujudkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lahan secara optimal dengan tetap menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem pada DAS, maka semua pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan DAS harus melakukan aktifitasnya secara terukur dan selaras dengan pihak terkait lainnya
Oleh karena itu, untuk menyelaraskan aktifitas dan kegiatan lintas sektoral dan lintas administrasi pemerintahan pada lingkup wilayah Provinsi dan Kab/Kota, perlu untuk mebuat regulasi daerah yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lahan dalam satuan ekosistem DAS yang ada di wilayah kerja-nya.
Regulasi daerah yang akan dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) misalnya memuat tentang pemanfaatan sumberdaya alam yang berupa hutan, tanah dan air sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional dan ini harus dilaksanakan sebaik-baiknya berdasarkan azas kelestarian, keserasian serta azas pemanfaatan yang optimal yang dapat memberikan manfaat ekonomi, ekologi & sosial secara seimbang.
Pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi dan melampaui kemampuan/daya dukungnya akan menjadi penyebab degradasi lingkungan termasuk di dalamnya keberadaan lahan kritis. Disamping itu perilaku masyarakat yang belum mendukung konservasi seperti illegal loging dan penyerobotan lahan hutan akan menyebabkan deforestasi, memacu terjadinya bencana alam banjir dan tanah longsor pada musim penghujan, kebakaran & kekeringan pada musim kemarau, pencemaran air sungai, pendangkalan waduk, abrasi pantai, dan tidak berfungsinya sarana pengairan sebagai akibat sedimentasi yang berlebihan.
Berdasarkan latar belakang di atas maka diperlukan adanya regulasi (Perda) yang menjadi acuan dalam pengelolaan DAS secara terpadu yang harus melibatkan pemangku kepentingan pengelolaan sumberdaya alam dan lahan yang terdiri dari unsur-unsur masyarakat, dunia usaha, Pemerintah Pusat dan Daerah berdasarkan prinsip-prinsip keterpaduan, kesetaraan serta berkomitmen untuk menerapkan penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya alam yang adil, efektif, efisien, dan berkelanjutan.
Sumber: makalah pengelolaan DAS.
Pentingnya Perda DAS di Setiap Daerah
Labels:
loading..
0 komentar:
Post a Comment